Benarkah di zaman serba canggih
sekarang masih ada orang yang buta huruf di Indonesia? Faktanya penulis menemui
sendiri, ketika momen pembagian rapor, seorang wali murid meminta untuk
menuliskan nama anaknya di lembar absen orang tua yang hadir. “Saya tidak tahu menulis,
Bu!” tuturnya.
Selain itu, ada beberapa anak yang
putus sekolah dan belum lancar menulis dan membaca. Suport untuk belajar di
keluarga serta lingkungan sangat kurang. Anak-anak ini, sedari kecil sudah
bekerja yang menghandalkan otot. Mendapatkan uang, sehingga berfikir, “untuk
apa sekolah?” Sedih. Ketika “sekolah” dianggap rutinitas yang tidak berguna.
Beberapa anak lainnya putus sekolah
memang karena tidak mampu mengikuti pelajaran di kelas. Beberapa kali tidak
naik kelas, sehingga malu karena memiliki fisik yang besar sendiri di kelas.
Penyebab lainnya adalah kemiskinan, tapi seharusnya penyebab yang terakhir ini
tidak ditemui lagi sekarang ini, karena sekolah tingkat Dasar bukannya gratis?
Apapun penyebab buta huruf, menjadi
seseorang yang tidak tahu baca tulis itu tidaklah enak. Akan menjadi seseorang
yang minder, sulit maju dan konon lebih rentan mengalami demensia dibandingkan
orang yang bisa membaca dan menulis.
Apakah di tempatmu tinggal masih ada
orang yang buta huruf? Jika masih ada, sepertinya kita bisa menjadi pilar,
seperti yang pernah dilakukan seorang pemuda yang bernama Eko Cahyono dari Kabupaten
Malang, Jawa Timur.
Semangatnya memberantas buta huruf
menjadi pilar yang menerangi sekeliling sehingga ia pun disebut sebagai Pembebas
Buta Huruf dan dianugrahi Satu Indonesia Awards tahun 2012, kategori Pendidikan, dari Malang,
Jawa Timur. berikut kisahnya!
Semangat Eko Cahyono
Semangat Eko Cahyono dalam membantu
anak-anak yang buta huruf dilatar belakangi akan kecintaan pada masyarakat
dilingkungannya yang memang tidak semua kaya. Pengalamannya sebagai anak yang
dilahirkan dari keluarga yang ekonominya pas-pasan mendorong ia berbuat sesuatu
bagaimana caranya agar buta huruf di daerahnya tidak ada lagi.
Kemudian, ia mendirikan perpustakaan
keliling, yang bernama “Perpustakaan Anak Bangsa”. Niat yang baik akan berjalan
dengan baik pula. Begitu juga jalan yang ditempuh Eko Cahyono, melakukan
pendekatan, memahami karakteristik anak-anak sehingga yang menjadi tujuannya
bisa tercapai. Sikap sabar membersamai proses belajar di perpustakaan.
Menariknya, Eko Cahyono melakukan
semua itu di saat dana yang ada minim. So,
tidak semua lancar dengan uang yang banyak. Dengan keinginan sungguh-sungguh,
kekurangan dana bisa diatasi.
Padahal sulit mengajak untuk bisa
baca dan tulis serta melek literasi. Tidak semua anak mau. Ini dialami penulis
sendiri. Pengalaman mengajak seorang anak yang putus sekolah, untuk dibina dan
disekolahkan di sekolah yang lebih baik. Dijemput dan diantar. Diberi seragam
dan uang saku, sayangnya ditolak. Karena anak tersebut memilih kerja serabutan
yang menghasilkan uang, meski tidak bisa baca tulis.
Mendorong Tumbuhnya Minat Baca dan Tulis
Menumbuhkan minat baca dan tulis yang
dilakukan Eko Cahyono sudah berlangsung 15 tahun yaitu sejak Juli 1998. Gerakan
literasi dan menghapus buta aksara pun menjangkau lebih luas, bahkan seluruh
kecamatan di Kabupaten Malang dengan layanan perpustakaan keliling tersebut.
Total ada 26 perpustakaan yang
berhasil ia kembangkan, yang menjangkau 35 desa di tujuh kecamatan se-Kabupaten
Malang. Semakin dekat dengan hati anak-anak, semakin mengepakkan sayap. Konon program
yang ia kembangkan, mengundang anak-anak untuk turut gabung, dan memotivasi
relawan untuk ikut bergerak.
Dilansir dari satu-indonesia.com, selain
menumbuhkan minat baca dan tulis, kegiatan lain yang bisa ia lakukan adalah belajar komputer,
melukis, nobar (nonton bareng), belajar memasak, menjahit, berdiskusi setiap
hari Sabtu malam, dan menanam obat-obatan tradisional.
Dibuka juga bimbingan belajar free khusus bagi pelajar SD atau
madrasah Ibtidayah. Tidak sampai di situ, literasi yang ia kembangkan hadir di
pos ojek, salon, bengkel motor, rental komputer, dan tempat lainnya. Akhirnya
cinta baca hadir dimana-mana.
Penutup
Tanpa kegigihan seorang Eko Cahyono,
keberhasilan menghapus buta huruf di Malang kala itu tidak akan tercapai. Sulit
pastinya, tapi dengan niat yang tulus akan terlaksana.
Badan Pusat Statistik mencatat pada
tahun 2022 ada 3,65% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas masih
buta huruf. Apakah beberapa ada di daerah kita? Mampukah kita meniru semangat seorang
Eko Cahyono?
Sumber Gambar: Instagram Eko Cahyono @ekocahyonoangsa
Posting Komentar
Posting Komentar